This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 14 Mei 2009

Tentang rasa malu kita

SUATU sore, suara azan ‘Ashar sudah terdengar ramai bersahut-sahutan, memanggil manusia untuk jeda sejenak dari aktivitasnya. Menghadap Sang Pencipta untuk mengingat-Nya. Akan tetapi, dari masjid tak jauh dari kos saya belum terdengar panggilan paling mulia itu.

Kemudian saya berangkat ke masjid. Mengumandangkan azan dan shalat sunah dua raka’at. Sampai beberapa saat setelahnya, belum juga ada seorang pun yang datang ke masjid. Hingga ketika datang seorang mas-mas, saya langsung qomat.

Dari penampilan mas itu yang hanya mengenakan kaos oblong lengan pendek dengan tulisan memenuhi punggungnya, saya bisa menebak kedalaman ilmu agamanya. Sekadar basa-basi, saya tawari mas itu untuk menjadi imam. Di luar dugaan saya, ternyata dia tidak menolaknya seperti kebanyakan orang. Mas itu langsung maju ke depan menjadi imam dengan pedenya. Dan, jadilah saya yang memakai kemeja lengan panjang dan sarung makmum pada mas tadi yang ‘hanya’ mengenakan kaos oblong lengan pendek dengan tulisan-tulisan besar memenuhi punggungnya.

Setelah mas itu takbiratul ihram, iseng saya baca tulisan-tulisan besar di punggungnya itu. Maaf, tulisan itu berbunyi—sekali lagi maaf:

SEGOBLOK-GOBLOKNYA ORANG GOBLOK, MASIH LEBIH GOBLOK LAGI ORANG YANG MEMBACA TULISAN INI. APALAGI MEMBACANYA DENGAN SUARA KERAS.

Setelah membacanya, entahlah, saya selalu berusaha untuk mengingatnya meskipun sudah masuk dalam shalat. Hingga ketika salam pun, saya tidak dapat melupakannya begitu saja. Bahkan, saya malah berusaha untuk menghafalkannya.

Seorang bapak yang datang belakangan juga sempat-sempatnya mengingatkan si mas tadi secara khusus dengan menunggunya sampai selesai berdoa, sebelum beranjak meninggalkan masjid. Berarti bapak itu juga merasa terganggu oleh tulisan di pungungnya itu.

Pelajaran apa yang kita peroleh dari kejadian di atas?

Mas itu--dan mayoritas umat Islam pada umumnya, belum begitu memahami adab-adab shalat, terutama yang berkenaan dengan masalah pakaian. Cukup mengenakan kaos oblong, yang penting suci dan menutup aurat. Bukankah itu syarat sahnya shalat?

Tetapi, bukankah Allah itu Mahaindah dan menyukai keindahan? Ada cukup banyak hadis yang memerintahkan kita untuk memakai pakaian yang paling bagus (berwarna putih) ketika akan shalat. Hingga Al-Qur’an pun mengabadikannya di salah satu ayatnya. Bukankah ketika kita shalat, hakikatnya kita sedang berdiri di hadapan-Nya?

Kalau kita mau jujur, ketika akan berangkat ke sekolah, ke kampus atau ke tempat kerja yang notabene hanya akan berhadapan dengan makhluk-Nya, kita selalu berusaha untuk tampil perfect. Dan, tentunya dengan mengenakan pakaian terbaik yang kita miliki.

Kita memerlukan waktu sekian menit untuk dandan, berlenggak-lenggok di depan cermin, menyisir rambut, meminyakinya, dan memakai minyak wangi. Belum lagi menyemir sepatu dan segala tetek-bengek lainnya yang kadang membuat kita sampai pusing sendiri.

Bukankah dengan demikian, secara tidak sadar kita telah mengesampingkan pertemuan agung dengan Allah Swt., Sang Khalik, dan lebih menghargai pertemuan dengan mereka yang sekadar hamba-Nya, makhluk-Nya yang tidak kuasa apa-apa?

Lantas, di manakah kita letakkan rasa malu kita?


***


16 Mei 2oo2


http://setta.blog.friendster.com

Tentang Kesabaran

Sebut saja namanya Z, seorang manajer sebuah perusahaan swasta Bandung. Suatu hari datang ke seorang ustadz. Kedatangannya karena keinginan yang menggebu - gebu atas kehampaan jiwa yang sedang ia rasakan. Rutinitas pekerjaan yang ia lakukan, memaksa mengedepankan kemamampuan intelektualnya, namun berbarengan dengan itu sisi spiritual telah diabaikan, hingga pada sebuah titik ia bertemu dengan sebuah kehampaan.

Ketika sudah ketemu dengan sang ustadz, sang ustadzpun tidak banyak bicara dan basa basi lainnya, ia hanya berkata sedikit, ”kamu berlatih sabar dulu, karena orang yang sabar itu bersama Allah.”. Si manajer itupun kembali dari rumah sang ustadz. Dalam perjalanannya ia pulang, iapun bertanya-tanya, ”jauh-jauh datang, ingin mencari pengobat hati yang hampa, malahan hanya dapat sebuah kalimat pendek. Kalau hanya seperti itu ngapain jauh – jauh, baca di buku – buku yang bertebaran di toko buku juga banyak.”

Beberapa minggu waktu telah berlalu, namun kehampaan jiwa masih selalu menggelayut dalam benak sang manajer. Rutinitas harian yang ia laluipun, hanya berkutik pada aktivitas intelektual semata. Ibadah ritual yang ia jalankan, seolah tak membekas dalam relung hatinya yang terdalam. Sholatnyapun terasa hanya sebuah penggugur kewajiban, tak membekas di jiwanya,apalagi implikasi sosial.

Pada suatu hari ada meeting di kantornya, akibat krisis global yang melanda dunia, perusahaan tempatnya bekerjapun terkena imbas. Keputusan Dewan Direksi, perusahaan akan memberlakukan PHK, tidak terkecuali di jajaran departemen yang ia manajeri. Sebagai tahap awal manajemen memutuskan untuk mengurangi karyawan di tingkat staff. Akibat dari keputusan tersebut, si manajer harus melakukan pekerjaan yang tidak sedikit, karena pekerjaan yang biasanya bisa dilimpahkan ke staffnya, maka terpaksa harus dilakukan ia sendiri.

Sebagai akibat dari keputusan tersebut, iapun mulai merasakan kepenatan yang lebih. Kalau dulu ia hanya mengkonsep, dan staffnya yang mengetik surat, maka sekarang ia harus mengonsep sendiri, mengetik sendiri, bahkan harus melakukan hal – hal lain, yang sebenarnya bukan kerjaan seorang manajer. Tidak hanya itu, iapun mulai merasakan kehilangan kharismanya. Kalau dulu ia tinggal perintah, maka sekarang minta tolong ke temanpun tidak selalu diperhatikan. Ia merasa, bahwa ia kerja sendiri, tidak disupport teman – teman. Masing – masing mulai muncul egoisme pribadi. Kalau dulu toleransi begitu mengakar di perusahaan, sekarang toleransi itu, hampir – hampir sirna termakan kepentingan sendiri – sendiri.

Hari – hari berlalu tanpa terasa, hingga akhirnya si manajerpun datang kembali ke tempat sang ustadz. Kalau dulu ia datang dengan tujuan mencari pencerahan dari kehampaan jiwa, maka sekarang ia datang untuk mengadukan kepenatan lingkungan kerjanya.

Setelah sampai ke tempat sang ustadz, sang ustadzpun dengan santai hanya memberi satu kalimat sederhana, ” kamu, baru dikasih satu tangga untuk menuju kesabaran”. Si manajerpun terangguk- angguk, bukan karena mengerti kata-kata sang ustadz, tapi karena bagi dia tambah bingung.

Sesampai di rumah, si manajer masih saja bingung, dengan kata – kata sang ustadz. Logika berfikirnya masih belum bisa menerima. Di kantor ia sudah pusing dengan kondisi perusahaan. Ketika datang ke sang ustadz, hanya dikasih seuntai kalimat, yang ia terngiang – ngiang, ”tangga kesabaran”.

Di sebuah malam, tidak seperti biasanya sang manajer bisa bangun malam, tepat jam tiga ia berusaha melakukan sholat tahajud. Ada sebuah kedamaian yang ia rasakan setelah sholat. Beban – beban yang ia rasakan di siang hari,seolah tak menggelayut di relung fikirannya.

Sehabis sholat dan wiridan, iapun bergegas ke teras depan. Sambil menunggu waktu shubuh iapun duduk termenung, hingga pada sebuah titik ia mulai dianugerahi sebuah pencerahan. Ia mulai mengingat, dulu datang ke tempat sang ustadz, dengan tujuan mencari pencerahan atas kehampaan jiwanya. Namun setelah datang ke tempat sang ustadz, justru di kantornya terjadi kondisi yang selalu memancing emosinya...., kondisi yang seolah menghilangkan kharismanya...., terjadi kondisi yang membuat perasaannya semakin tersiksa....., kenapa ??? ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri.

Yah.... itulah sebuah kenyataan, yang memaksa diri untuk bertindak sabar. ”Kalau saya selalu emosi, kurang percaya diri, merasa dikhianati, berarti terjerembab oleh sebuah keadaan.” gumannya dalam hati. ”Padahal bukan sebuah kebetulan, bila kondisi itu memang sengaja diberikan sama Allah, supaya saya bisa belajar sabar....” jawabnya dalam hati. Iapun kemudian berujar, ”Karena kondisi ini, maka saya dipaksa belajar sabar, bila sabar telah tertoreh, maka pertolongan Allah akan datang, jadi kondisi itu hanyalah sebuah anak tangga menuju kesabaran.”

Demikianlah, seberkas cahanya telah merasuk dalam dinding kalbunya, hingga saat adzan shubuh terdengar, kakinya ringan melangkah menuju masjid. Ketika pagi telah menjelang, iapun berjalan menuju kantor dengan raut wajah yang terang, sorot matanyapun berbinar tidak nampak kelesuan disana. Langkahnyapun terlihat tegap, seolah langkah menuju ke tempat yang selama ini ia rindukan.

Terang wajahnya, dan berbinar sorot matanya, bukan karena ia di kantor tidak akan menemui orang – orang yang tak mempedulikannya, namun karena ia yakin, bahwa Allah telah menganugerahi anak tangga menuju kesabaran, yang selama ini ia cita-citakan.

Wallahu a’alam.

www.kangtris.com

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More